Friday 2 August 2013

Facebook diaryku

Dear Diary,

Selongsong rindu, adalah peluru yang menyongsongku di kolong waktu.

Tak hendak kuberanjak, menjejak perca-perca masa depan yang menyakitkan. Telah cukup hari-hari lalu, menangkupku dalam lumpur-lumpur kawah. Berkali-kali tersungkur karenanya.

Hari ini kembali kurindukan hadirmu. Kurindukan dirimu yang biasanya mampu menggantikan hadirku. Cukup dengan mengukir kata, butir-butirmu akan meruah ke negeri entah. Terkadang engkau pergi ke tanah kenangan, menggali nisan tak bernama. Sekawanan bulbul memanggul senjata di paruhnya, siap memapah jasad pucat di keranda mereka.

Tapi engkau telah bersiap mantra. ‘Laa Yahtof, Walaa Tahzan. Akulah angin, akulah Topan. Semilir desirku, mengiris nadimu. Tatapanku delapan penjuru jauh. Menjauhlah, atau Musnah…’

Siulan bulbul sontak berhenti. Kepak sayap mereka buru-buru menjauh. Bersama derak roda kereta, yang membawa keranda tak terisi.

Kemudian Kau panggul jasad itu. Jasad pucat berwajah serupa hawa. Dengan dua apel saga di dadanya. Di telaga coklat yang tak jauh dari persemayamannya, kau lumuri tubuh itu, dengan berlumpur mantra. “Kaf Ha’ Ya’ Ain Shod. Kafilah jiwa, Hadirlah. Tempayan ragamu, rindukan episode baru. “

Dalam kemilau cahaya pancawarna, wajah itu tiba-tiba membuka kelopak matanya. Memancarkan bulir-bulir serupa embun di sudutnya. Tersulutlah kata dari kedua mulutnya...

‘Dear Diary…Mengapa kau bangkitkan aku dalam kesakitan ini? Belum cukupkah bebatuan waktu yang merajamku berkali-kali? Tuanmu yang tersayang, dialah yang telah menyalibku di tiang bimbang. Dialah kecubung, yang melambungkanku dengan selumbung padi. Dia berjanji akan mengisinya dengan beras dan emas.

‘Tapi Diary. Senja sudah separuh ungu. Namun tuanmu, belum juga bertamu. Sontak diriku cemas, memikirkan malam yang akan meremasku dalam kebekuan sepanjang waktu. Bahkan, ketika malam sudah merajamku berkali-kali, wajah tuanmu masih kunanti-nanti.

‘Dear Diary, cabutlah mantramu. Kembalilah engkau pada tuanmu. Biarkanlah aku damai, memeluk luka ini…’



-o0o-

Dear Tuan tersayang. Maafkan saya, jika Tuan menunggu kedatangan saya begitu lama. Sebagaimana biasa, mestinya saya menuliskan jurnal perjalanan saya, mencatat segala peristiwanya , agar nanti sewaktu-waktu tuan bisa membacanya. Maafkan saya, jika mangkir dari tugas mulia untuk kali ini.

Saya perlu menyingkir dulu, sembari memikirkan kembali, apakah saya pantas mengemban beban ini.

Teramat berat rasanya, memikul amanat yang disematkan di badan saya yang kian hari kian ringkih. Terlampau banyak luka dan kepedihan, manakala bercengkerama dengan wajah-wajah kenangan. Parahnya, kepedihan itu turut bergelayut, mengiringi langkah saya kemanapun perginya.

Dear Tuan tersayang, saya tak bisa membayangkan, bagaimana kesedihan itu juga akan bergelayut di pikiran tuan, bila membaca jurnal kenangan silam. Tuan pasti akan surut langkah ke depan, seperti perahu yang urung melajukan harapan. Tuan pasti akan menimbun diri, dalam rerimbunan salju abadi.

Karena itulah Tuan, biarlah saya yang menyimpan jurnal kelam itu, untuk saya sendiri. Biarlah saya yang akan menguburkan kepedihan dan kedukaannya. Bersama raga saya…

Aku masih tersenyum...........................

Aku masih tersenyum, membersamai setiap letupan hati tanpa nada yang terarah. Aku masih ingin menghadirkan asa, yang telah berkali mengeping di depan mata, namun sekali-kali tidak di lahan senubari. Aku masih mengakrabi takdir, meski jemu kadang begitu hebat melanda. Aku masih menggenggam jiwa, yang berulang merasakan hempasan hebat dari jalan-jalan terjal tak terduga. Aku masih disini, dengan sebentuk kayakinan yang dikhawatirkan memudar warnanya sebelum purna hidup ini.

Menghiaslah sabar, di laku buram kebimbangan yang melingkar tanpa ujung. Agar tak ada ketergesa-gesaan bersikap tanpa jalan panjang kearifan. Menghiaslah kelembutan, agar gejolak ini menjadi bagian-bagian proses dewasanya hati. Menghiaslah ketenangan, agar tetap damai dalam kisruh yang menggemuruhkan liarnya jiwa.

Karena ada saatnya, aku tak bisa memperbaiki rasa. Karena dalam benyak hal aku tak bisa merubah suasana. Dan dalam beberapa kesempatan, aku memilih diam dan menunggu. Dan pada beberapa kejadian, aku tak selalu bisa diandalkan. Serta pada beberapa sisi aku bukanlah yang terbaik.

Takdir ! Itulah jawaban pamungkas pada setiap lesat tanya dari ujung muhasabbah. Meski didapati penyebab kesalahan setiap susah dan apa yang sering disebut musibah adalah dari diri sendiri.

Semata, semua hal yang kini terjadi, adalah semakin menyandarnya hati ini dalam pagutan irama mahabbah padaMu. Duhai yang terkasih, berilah rasa ridha pada setiap takdir hidup. Menyakini penuh ada Engkau pada setiap apa yang dibaliknya.

Mencari ketenangan di keheningan malam.

Setiap orang akan berbeda dalam menyikapi berbagai gejolak hidupnya. Menyikapi hidup terkadang gampang-gampang susah. Gampang untuk bicara, susah untuk dijalankan. Adakalanya kita bisa berpikiran jernih sehingga semuanya nampak indah, dan adakalanya hati kita dalam keadaan gelap sehingga keluh kesah pun tak dapat dihindari. Keluh kesah dan ketenangan silih berganti menyelimuti perjalanan hidup kita. Dan semuanya sudah menjadi hukum Allah bahwa kehidupan ini memang selalu berputar dan berpasang-pasangan, yang menjadikannya sebagai ujian, pelajaran, cobaan dan peringatan bagi orang-orang yang berpikir.

Manusia dengan perbedaan cara pandangnya, selalu menanti kehadiran masa-masa yang tenang sehingga bisa menjadikannya sebagai sebuah kebahagiaan yang dalam. Masa-masa yang tenang ini akan sangat berdampak pada penjernihan akal dan pikiran manusia. Tetapi tidak sedikit pula manusia yang dapat merasakan ketenangan hati dengan tidak terpengaruh tempat dan waktu. Bagi mereka, suasana ramai maupun sepi, malam ataupun siang, semuanya sama karena sudah terpancar sinar ketenangan dalam hatinya. Sungguh beruntung orang yang seperti itu.

Lain dengan mereka, lain pula dengan diriku. Aku termasuk orang yang sangat menikmati kesunyian malam. Bagiku, suasana malam menjelang pagi adalah masa-masa yang selalu indah untuk aku nikmati, sungguh suasana yang sangat menenggelamkan segala kegelisahan dan kekacauan pikiranku. Teringat akan masa lalu yang penuh kebahagiaan bersama orangtua dan saudara kandungku, teringat akan masa kecilku saat bermain bersama sahabat-sahabatku, teringat masa penuh keceriaan bersama kawan-kawanku semasa sekolah. Terkadang semuanya membuat hati larut dalam kerinduan yang dalam.

Aku semakin percaya bahwa memang benar Allah memuliakan sepertiga malam terakhir bagi orang-orang yang hendak beribadah kepada-Nya. Saat itulah diri kita merasa sendirian kecuali Sang Khalik yang selalu terjaga dan menemani kita. Saat itulah diri kita merasa bukanlah apa-apa, terlalu kecil diri kita dihadapan Allah tetapi akan menjadi mulia bila kita mampu bertaqwa dengan sebenar-benarnya taqwa. Ketenangan dan kedamaian hatiku terasa memuncak manakala aku mendapatkan sepertiga malam yang penuh keberkahan dan ampunan-Nya. Tiada waktu yang paling indah bagiku kecuali di sepertiga malam terakhir itu.

Dan alangkah beruntungnya jika kita bisa memanfaatkan sepertiga malam itu untuk melakukan ibadah kepada Allah yang telah menciptakan kita, memohon ampunan-Nya serta mensyukuri atas segala karunia-Nya. Akan tetapi segala sesuatu yang berkaitan dengan ibadah, tentunya tidak akan pernah terlepas dari godaan syaitan laknatullah. Mereka menggoda manusia untuk malas bangun malam, mereka lebih menyukai manusia yang tertidur lelap dengan mimpi indahnya, mereka senang bila manusia tertidur pulas dengan selimut hangatnya. Itulah tipu daya syaitan laknatullah agar manusia tidak mengambil keuntungan besar dari sepertiga malamnya.

Segala kondisi adalah tantangan dan setiap masa adalah cobaan, namun di balik itu terdapat hikmah yang besar untuk orang-orang yang berpikir. Berpikir untuk menjawab semua tantangan, berpikir untuk teguh dalam menghadapi cobaan. Namun bagiku kesunyian malam tetaplah sebuah ketenangan yang sesungguhnya, penuh hikmah dan pahala. Lain orang lain pula cara mencari ketenangannya, dan aku selalu berharap mendapatkan ketenangan di kesunyian malam yang berujung kebahagiaan di panasnya siang.

Bolehkah aku tidur sekarang ???

Untuk para pemilik hati nan lembut menentramkan, sudikah merengkuh hatiku yang kasar lagi bernoda? Dalam tapak – tapak kedustaan yang menjejak dalam. 
Untuk para pemilik jiwa ksatria, sudikah sapa jiwaku dengan kobar semangatmu? Agar dapat kurasai perjuangan itu kembali dari ruh suci yang tak pernah lelah dan lekang di makan waktu. 

Untuk para pemilik keyakinan kuat, sudikah menghujamkannya ke dalam dadaku? Agar segala gundah tersikapi sewajarnya. 
Untuk para pemilik keagungan budi dan tutur, sudikah ajari aku adab dan tutur kata agar tak menyakiti lagi. 
Untuk para pemilik ketawadhu’an, sudikah mentawadhu’kan keangkuhanku? Merukukkan egoku, mensujudkan pongahku... khusyu'....
Untuk sahabat – sahabatku, maafkan aku…. Dalam laku dan tutur, dalam prasangka dan apa yang ada di baliknya. 

Untuk kedua orang tuaku, 
terima kasih untuk semua waktu yang kau curahkan untukku,
setiap tangis dalam do’a-do’amu untukku.
terima kasih telah menjagaku, mencintaiku dan memberikan apapun yang kau bisa berikan
terima kasih telah mengajarkanku kebaikan
mengajarkanku untuk bertahan, mengajarkanku untuk tegar, mengajarkanku untuk mencintai dan mengajarkanku untuk tak mendendam

di saat ku beranjak dewasa, mungkin sulit bagimu untuk memahami semua gejolak, semua keinginan, semua egoku.
dan kini akupun mulai belajar untuk memahamimu, memahami harapanmu, memahami peranmu dalam hidupku.

terima kasih karena selalu memberiku kepercayaan untuk melangkah
terima kasih karena selalu membiarkanku mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas apa yang kupilih.

maaf, untuk jutaan tetes air mata karenaku
maaf, jika aku terkadang begitu keras kepala dengan kemauanku
maaf, jika aku terkadang merasa begitu kuat, dan membuatmu khawatir dengan apa yang aku lakukan
maaf, jika sampai detik ini, masih sedikit sekali dari sekian waktuku yang membuatmu bahagia

aku janji untuk berusaha memberikanmu yang terbaik dari apa yang mampu aku lakukan
aku janji untuk berusaha memberikan lebih banyak untuk membuatmu tersenyum

saudara dan kerabat, maafkan aku…. Karena belum mampu buat kalian bahagia, karena belum mampu buat kalian bangga, karena belum mampu kabulkan segala keinginan.

Dan….
Bolehkan sekarang aku tidur, melupakan segalanya, karena pusing dikepalaku belum hilang, karena hidup ternyata terlalu rumit, karena takdir tak selalu dapat ku mengerti, karena…. kini tak ada perasaan apapun di hatiku, tak ada asa apapun di jiwaku 

Bolehkah aku tidur sekarang… meninggalkan seluruh kepalsuan…. melepas dan melupakan semuanya…

Sebelum semuanya benar-benar berakhir

T'lah mengukir sepi, dalam benak sendiri yang terkukung oleh rajutan kuat masa lalu. T'lah membatasi gerak, dalam senyap ruang yang tercipta atas buah karya sesal masa muda nan jaya. 

Kini, dalam tubuh rapuh lagi ringkih, ada jiwa yang menagis sesunggukan, atas segala peluang yang tersiakan. Mengabaikan sabda sang Nabi atas lima perkara sebelum lima perkara. Dan kini yang manakah masih tersisa, dalam usia senja yang seharusnya memetik panen dari ladang subur amal duniawi, yang muaranya hingga ukhrowi? 

Malam, ketika tetap pekat meski bertaburkan bintang, karena kini aku tak bisa menikmati segala keindahan, dalam kecemasan dan penyesalan sepanjang waktu, membelunggu hati yang kian meronta, atas kelamnya ujung usia. 

Namun, sebelum semuanya benar – benar berakhir, apa yang kiranya bisa ku lakukan dengan tubuh tua ini, dengan nyawa yang lebih dekat pada suara kematian? 

Tuhan, tolong aku….
Karena penyesalan semakin menyesakkan pembuluh nadiku. Meski berselimut malu aku memohon kesempatan, agar dapat ku berbuat kebaikkan, sekecil apapun kebaikkan itu, sebelum tutup usia 

Tuhan, bantu aku…
Karena kini aku tak perkasa lagi, untuk menghantam waktu agar menjadi kepingan – kepingan kemanfaatan untuk dunia dan akhiratku. Dan dalam lara betapa aku teramat berduka atas hal kosong yang ku wariskan pada kehidupan sesudahku 

Tuhan, bimbing aku….
Agar dalam waktu yang sedikit ini, mampu menebus segala kelalain di masa muda, dalam taubat dan penghambaan meski harus tertatih. 

Hingga diujungnya… aku pasrah untuk segala takdirMu, meski harap kuat mencekram rasa agar berkesudahan dalam khusnul khotimah. Amin 

Mensenyumkan hati kembali

Mensenyumkan hati lagi, diiringi cerahnya pagi ini yang menjadi saksi. Bahwa aku masih kuat dan memilih bertahan. Meski kini semuanya hanya narasi tanpa narator. Tak cukup memang menyuguhkan syarat lengkap. Namun toh pada kenyataannya memang demikian adanya, tanpa jeda dan pengulangan meski keinginan di ubun-ubun.

Tersenyum lagi, lebih lebar. Sejengkal langkah harus mundur dalam titah takdir. Tak usah melawan, karena akan tiba masanya menapakkan lagi, meski dengan tapak yang berbeda. Dan sungguh, tak ada kerisauan dalam tenang ini. Karena niatan hati teryakinkan telah pada posisi yang benar.

Pada riak-riak takdir yang menyentil spirit jiwa. Menggejolaklah asa dalam lingkaran hati. Sebuah keinginan terazamkan, tuk tetap mejadi semakin baik dari hari ke hari, tuk tetap ceria dalam tiap laku, tuk tetap kibarkan senyum sapa di setiap lahan hati yang terjambangi. Agar kiranya menjadi pribadi yang menentramkan, pribadi yang memagnet rasa dalam kebersamaan tanpa mengenal segala bentuk keadaan. Karena sungguh, ingin sekali terkatakan, bahwa engkau nyaman dan aman bersamaku, mari torehkan keceriaan pada setiap takdir yang menggurat.

Tersenyumlah.... hidup ini tak layak ditangisi. Tahukah kenapa? Karena ada cinta taat yang merengkuh cinta nikmat dan cinta manfaat, bukan cinta laknat. Karena engkau dan aku adalah sebaik-baik penciptaan. Karena kita saling menopang dalam kesejatian ukhuwah. Terlebih... karena kita saling mencintai karenaNya.

Aku yang masih menanti

"Bimz, mengapa semua ini terjadi padamu?"

"Dan mengapa takdir memilih kamu?"

Kadang begitu banyak pertanyaan sulit yang tak mampu aku jawab. Kadang hidup kembali menyisakan derai pilu yang harus ku jalani. Walau pahit, namun harus dihadapi. Coz Life Goes On. Like it or Not.

"Mengapa kau masih berdiri disana, Ded? Apa yang kau cari dan kau tunggu"
Suara hatiku bening membuyarkan lamunanku.

"Apa yang aku cari tunggu..?" Pertanyaan itu kembali menggantung di sudut hatiku.

Suatu sebutan sesosok nama, secarik title harapan yang tengah ku tunggu. Ku masih mengharap sosok nya. Sekian purnama terlewati. Dan ku tak berhenti melambungkan nama nya ke atap langit. Berharap yang Maha Penyayang mengabulkan do'a do'aku. Walau aku tahu, dengan lumuran noda di pakaian jelataku, masih kah aku berharap TUHAN mendengar pintaku?

Tuhanku, untuk d.o.a ku yang ini. Ku mohon palingkan wajahMu pada si kerdil ini. Ku mohon kemurahanMu sekedar menorehkan garisMu dalam lembaran takdirku.

Apa lagi yang kuharap kini? 

Sebuah mimpi akan sebuah harapan.

Dan tangan RahmaanNya, senantiasa membelai mesra hamba hambaNya yang meminta. Aku tahu DIA tak kan pernah mengecewakan hambaNya yang berdo'a dengan penuh kesungguhan.

Aku hanya mampu mengeja harapan itu, harapan demi harapan. Sedang diriku teramat letih menunggu Sungguh berat arti sebuah penantian.
Ah ya, tentu saja, ku tak kan pernah mengerti. Bahkan mereka pun tak mau mencoba mengerti arti menanti.

Rintik hujan dan rinai Pelangi. Bulan senja dan Matahari Pagi. Semua seakan sama bagi ku. Hitungan bulan dan bintang menjadi pengantar keadaanku.


dimana harus kutemukan?
Bahkan aku kini bingung mencari mu (kembali).


mereka hanya memberiku waktu satu Purnama untk sebuah jawaban.
Dan aku disini,
masih mencoba mencari bayang mu.

Kami serahkan segala nya pada Engkau Rabb.

Tiada Kesulitan melainkan Engkau janjikan bersama nya ada Kemudahan.

Tiada beban melainkan engkau ciptakan pundak disana untuk memikulnya.

Hidup amat sangat Adil. Dan keadilanNya akan berlaku untk hamba hambaNya.

my videos

part 2