Friday 2 August 2013

Facebook diaryku

Dear Diary,

Selongsong rindu, adalah peluru yang menyongsongku di kolong waktu.

Tak hendak kuberanjak, menjejak perca-perca masa depan yang menyakitkan. Telah cukup hari-hari lalu, menangkupku dalam lumpur-lumpur kawah. Berkali-kali tersungkur karenanya.

Hari ini kembali kurindukan hadirmu. Kurindukan dirimu yang biasanya mampu menggantikan hadirku. Cukup dengan mengukir kata, butir-butirmu akan meruah ke negeri entah. Terkadang engkau pergi ke tanah kenangan, menggali nisan tak bernama. Sekawanan bulbul memanggul senjata di paruhnya, siap memapah jasad pucat di keranda mereka.

Tapi engkau telah bersiap mantra. ‘Laa Yahtof, Walaa Tahzan. Akulah angin, akulah Topan. Semilir desirku, mengiris nadimu. Tatapanku delapan penjuru jauh. Menjauhlah, atau Musnah…’

Siulan bulbul sontak berhenti. Kepak sayap mereka buru-buru menjauh. Bersama derak roda kereta, yang membawa keranda tak terisi.

Kemudian Kau panggul jasad itu. Jasad pucat berwajah serupa hawa. Dengan dua apel saga di dadanya. Di telaga coklat yang tak jauh dari persemayamannya, kau lumuri tubuh itu, dengan berlumpur mantra. “Kaf Ha’ Ya’ Ain Shod. Kafilah jiwa, Hadirlah. Tempayan ragamu, rindukan episode baru. “

Dalam kemilau cahaya pancawarna, wajah itu tiba-tiba membuka kelopak matanya. Memancarkan bulir-bulir serupa embun di sudutnya. Tersulutlah kata dari kedua mulutnya...

‘Dear Diary…Mengapa kau bangkitkan aku dalam kesakitan ini? Belum cukupkah bebatuan waktu yang merajamku berkali-kali? Tuanmu yang tersayang, dialah yang telah menyalibku di tiang bimbang. Dialah kecubung, yang melambungkanku dengan selumbung padi. Dia berjanji akan mengisinya dengan beras dan emas.

‘Tapi Diary. Senja sudah separuh ungu. Namun tuanmu, belum juga bertamu. Sontak diriku cemas, memikirkan malam yang akan meremasku dalam kebekuan sepanjang waktu. Bahkan, ketika malam sudah merajamku berkali-kali, wajah tuanmu masih kunanti-nanti.

‘Dear Diary, cabutlah mantramu. Kembalilah engkau pada tuanmu. Biarkanlah aku damai, memeluk luka ini…’



-o0o-

Dear Tuan tersayang. Maafkan saya, jika Tuan menunggu kedatangan saya begitu lama. Sebagaimana biasa, mestinya saya menuliskan jurnal perjalanan saya, mencatat segala peristiwanya , agar nanti sewaktu-waktu tuan bisa membacanya. Maafkan saya, jika mangkir dari tugas mulia untuk kali ini.

Saya perlu menyingkir dulu, sembari memikirkan kembali, apakah saya pantas mengemban beban ini.

Teramat berat rasanya, memikul amanat yang disematkan di badan saya yang kian hari kian ringkih. Terlampau banyak luka dan kepedihan, manakala bercengkerama dengan wajah-wajah kenangan. Parahnya, kepedihan itu turut bergelayut, mengiringi langkah saya kemanapun perginya.

Dear Tuan tersayang, saya tak bisa membayangkan, bagaimana kesedihan itu juga akan bergelayut di pikiran tuan, bila membaca jurnal kenangan silam. Tuan pasti akan surut langkah ke depan, seperti perahu yang urung melajukan harapan. Tuan pasti akan menimbun diri, dalam rerimbunan salju abadi.

Karena itulah Tuan, biarlah saya yang menyimpan jurnal kelam itu, untuk saya sendiri. Biarlah saya yang akan menguburkan kepedihan dan kedukaannya. Bersama raga saya…

Aku masih tersenyum...........................

Aku masih tersenyum, membersamai setiap letupan hati tanpa nada yang terarah. Aku masih ingin menghadirkan asa, yang telah berkali mengeping di depan mata, namun sekali-kali tidak di lahan senubari. Aku masih mengakrabi takdir, meski jemu kadang begitu hebat melanda. Aku masih menggenggam jiwa, yang berulang merasakan hempasan hebat dari jalan-jalan terjal tak terduga. Aku masih disini, dengan sebentuk kayakinan yang dikhawatirkan memudar warnanya sebelum purna hidup ini.

Menghiaslah sabar, di laku buram kebimbangan yang melingkar tanpa ujung. Agar tak ada ketergesa-gesaan bersikap tanpa jalan panjang kearifan. Menghiaslah kelembutan, agar gejolak ini menjadi bagian-bagian proses dewasanya hati. Menghiaslah ketenangan, agar tetap damai dalam kisruh yang menggemuruhkan liarnya jiwa.

Karena ada saatnya, aku tak bisa memperbaiki rasa. Karena dalam benyak hal aku tak bisa merubah suasana. Dan dalam beberapa kesempatan, aku memilih diam dan menunggu. Dan pada beberapa kejadian, aku tak selalu bisa diandalkan. Serta pada beberapa sisi aku bukanlah yang terbaik.

Takdir ! Itulah jawaban pamungkas pada setiap lesat tanya dari ujung muhasabbah. Meski didapati penyebab kesalahan setiap susah dan apa yang sering disebut musibah adalah dari diri sendiri.

Semata, semua hal yang kini terjadi, adalah semakin menyandarnya hati ini dalam pagutan irama mahabbah padaMu. Duhai yang terkasih, berilah rasa ridha pada setiap takdir hidup. Menyakini penuh ada Engkau pada setiap apa yang dibaliknya.

Mencari ketenangan di keheningan malam.

Setiap orang akan berbeda dalam menyikapi berbagai gejolak hidupnya. Menyikapi hidup terkadang gampang-gampang susah. Gampang untuk bicara, susah untuk dijalankan. Adakalanya kita bisa berpikiran jernih sehingga semuanya nampak indah, dan adakalanya hati kita dalam keadaan gelap sehingga keluh kesah pun tak dapat dihindari. Keluh kesah dan ketenangan silih berganti menyelimuti perjalanan hidup kita. Dan semuanya sudah menjadi hukum Allah bahwa kehidupan ini memang selalu berputar dan berpasang-pasangan, yang menjadikannya sebagai ujian, pelajaran, cobaan dan peringatan bagi orang-orang yang berpikir.

Manusia dengan perbedaan cara pandangnya, selalu menanti kehadiran masa-masa yang tenang sehingga bisa menjadikannya sebagai sebuah kebahagiaan yang dalam. Masa-masa yang tenang ini akan sangat berdampak pada penjernihan akal dan pikiran manusia. Tetapi tidak sedikit pula manusia yang dapat merasakan ketenangan hati dengan tidak terpengaruh tempat dan waktu. Bagi mereka, suasana ramai maupun sepi, malam ataupun siang, semuanya sama karena sudah terpancar sinar ketenangan dalam hatinya. Sungguh beruntung orang yang seperti itu.

Lain dengan mereka, lain pula dengan diriku. Aku termasuk orang yang sangat menikmati kesunyian malam. Bagiku, suasana malam menjelang pagi adalah masa-masa yang selalu indah untuk aku nikmati, sungguh suasana yang sangat menenggelamkan segala kegelisahan dan kekacauan pikiranku. Teringat akan masa lalu yang penuh kebahagiaan bersama orangtua dan saudara kandungku, teringat akan masa kecilku saat bermain bersama sahabat-sahabatku, teringat masa penuh keceriaan bersama kawan-kawanku semasa sekolah. Terkadang semuanya membuat hati larut dalam kerinduan yang dalam.

Aku semakin percaya bahwa memang benar Allah memuliakan sepertiga malam terakhir bagi orang-orang yang hendak beribadah kepada-Nya. Saat itulah diri kita merasa sendirian kecuali Sang Khalik yang selalu terjaga dan menemani kita. Saat itulah diri kita merasa bukanlah apa-apa, terlalu kecil diri kita dihadapan Allah tetapi akan menjadi mulia bila kita mampu bertaqwa dengan sebenar-benarnya taqwa. Ketenangan dan kedamaian hatiku terasa memuncak manakala aku mendapatkan sepertiga malam yang penuh keberkahan dan ampunan-Nya. Tiada waktu yang paling indah bagiku kecuali di sepertiga malam terakhir itu.

Dan alangkah beruntungnya jika kita bisa memanfaatkan sepertiga malam itu untuk melakukan ibadah kepada Allah yang telah menciptakan kita, memohon ampunan-Nya serta mensyukuri atas segala karunia-Nya. Akan tetapi segala sesuatu yang berkaitan dengan ibadah, tentunya tidak akan pernah terlepas dari godaan syaitan laknatullah. Mereka menggoda manusia untuk malas bangun malam, mereka lebih menyukai manusia yang tertidur lelap dengan mimpi indahnya, mereka senang bila manusia tertidur pulas dengan selimut hangatnya. Itulah tipu daya syaitan laknatullah agar manusia tidak mengambil keuntungan besar dari sepertiga malamnya.

Segala kondisi adalah tantangan dan setiap masa adalah cobaan, namun di balik itu terdapat hikmah yang besar untuk orang-orang yang berpikir. Berpikir untuk menjawab semua tantangan, berpikir untuk teguh dalam menghadapi cobaan. Namun bagiku kesunyian malam tetaplah sebuah ketenangan yang sesungguhnya, penuh hikmah dan pahala. Lain orang lain pula cara mencari ketenangannya, dan aku selalu berharap mendapatkan ketenangan di kesunyian malam yang berujung kebahagiaan di panasnya siang.

Bolehkah aku tidur sekarang ???

Untuk para pemilik hati nan lembut menentramkan, sudikah merengkuh hatiku yang kasar lagi bernoda? Dalam tapak – tapak kedustaan yang menjejak dalam. 
Untuk para pemilik jiwa ksatria, sudikah sapa jiwaku dengan kobar semangatmu? Agar dapat kurasai perjuangan itu kembali dari ruh suci yang tak pernah lelah dan lekang di makan waktu. 

Untuk para pemilik keyakinan kuat, sudikah menghujamkannya ke dalam dadaku? Agar segala gundah tersikapi sewajarnya. 
Untuk para pemilik keagungan budi dan tutur, sudikah ajari aku adab dan tutur kata agar tak menyakiti lagi. 
Untuk para pemilik ketawadhu’an, sudikah mentawadhu’kan keangkuhanku? Merukukkan egoku, mensujudkan pongahku... khusyu'....
Untuk sahabat – sahabatku, maafkan aku…. Dalam laku dan tutur, dalam prasangka dan apa yang ada di baliknya. 

Untuk kedua orang tuaku, 
terima kasih untuk semua waktu yang kau curahkan untukku,
setiap tangis dalam do’a-do’amu untukku.
terima kasih telah menjagaku, mencintaiku dan memberikan apapun yang kau bisa berikan
terima kasih telah mengajarkanku kebaikan
mengajarkanku untuk bertahan, mengajarkanku untuk tegar, mengajarkanku untuk mencintai dan mengajarkanku untuk tak mendendam

di saat ku beranjak dewasa, mungkin sulit bagimu untuk memahami semua gejolak, semua keinginan, semua egoku.
dan kini akupun mulai belajar untuk memahamimu, memahami harapanmu, memahami peranmu dalam hidupku.

terima kasih karena selalu memberiku kepercayaan untuk melangkah
terima kasih karena selalu membiarkanku mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas apa yang kupilih.

maaf, untuk jutaan tetes air mata karenaku
maaf, jika aku terkadang begitu keras kepala dengan kemauanku
maaf, jika aku terkadang merasa begitu kuat, dan membuatmu khawatir dengan apa yang aku lakukan
maaf, jika sampai detik ini, masih sedikit sekali dari sekian waktuku yang membuatmu bahagia

aku janji untuk berusaha memberikanmu yang terbaik dari apa yang mampu aku lakukan
aku janji untuk berusaha memberikan lebih banyak untuk membuatmu tersenyum

saudara dan kerabat, maafkan aku…. Karena belum mampu buat kalian bahagia, karena belum mampu buat kalian bangga, karena belum mampu kabulkan segala keinginan.

Dan….
Bolehkan sekarang aku tidur, melupakan segalanya, karena pusing dikepalaku belum hilang, karena hidup ternyata terlalu rumit, karena takdir tak selalu dapat ku mengerti, karena…. kini tak ada perasaan apapun di hatiku, tak ada asa apapun di jiwaku 

Bolehkah aku tidur sekarang… meninggalkan seluruh kepalsuan…. melepas dan melupakan semuanya…

Sebelum semuanya benar-benar berakhir

T'lah mengukir sepi, dalam benak sendiri yang terkukung oleh rajutan kuat masa lalu. T'lah membatasi gerak, dalam senyap ruang yang tercipta atas buah karya sesal masa muda nan jaya. 

Kini, dalam tubuh rapuh lagi ringkih, ada jiwa yang menagis sesunggukan, atas segala peluang yang tersiakan. Mengabaikan sabda sang Nabi atas lima perkara sebelum lima perkara. Dan kini yang manakah masih tersisa, dalam usia senja yang seharusnya memetik panen dari ladang subur amal duniawi, yang muaranya hingga ukhrowi? 

Malam, ketika tetap pekat meski bertaburkan bintang, karena kini aku tak bisa menikmati segala keindahan, dalam kecemasan dan penyesalan sepanjang waktu, membelunggu hati yang kian meronta, atas kelamnya ujung usia. 

Namun, sebelum semuanya benar – benar berakhir, apa yang kiranya bisa ku lakukan dengan tubuh tua ini, dengan nyawa yang lebih dekat pada suara kematian? 

Tuhan, tolong aku….
Karena penyesalan semakin menyesakkan pembuluh nadiku. Meski berselimut malu aku memohon kesempatan, agar dapat ku berbuat kebaikkan, sekecil apapun kebaikkan itu, sebelum tutup usia 

Tuhan, bantu aku…
Karena kini aku tak perkasa lagi, untuk menghantam waktu agar menjadi kepingan – kepingan kemanfaatan untuk dunia dan akhiratku. Dan dalam lara betapa aku teramat berduka atas hal kosong yang ku wariskan pada kehidupan sesudahku 

Tuhan, bimbing aku….
Agar dalam waktu yang sedikit ini, mampu menebus segala kelalain di masa muda, dalam taubat dan penghambaan meski harus tertatih. 

Hingga diujungnya… aku pasrah untuk segala takdirMu, meski harap kuat mencekram rasa agar berkesudahan dalam khusnul khotimah. Amin 

Mensenyumkan hati kembali

Mensenyumkan hati lagi, diiringi cerahnya pagi ini yang menjadi saksi. Bahwa aku masih kuat dan memilih bertahan. Meski kini semuanya hanya narasi tanpa narator. Tak cukup memang menyuguhkan syarat lengkap. Namun toh pada kenyataannya memang demikian adanya, tanpa jeda dan pengulangan meski keinginan di ubun-ubun.

Tersenyum lagi, lebih lebar. Sejengkal langkah harus mundur dalam titah takdir. Tak usah melawan, karena akan tiba masanya menapakkan lagi, meski dengan tapak yang berbeda. Dan sungguh, tak ada kerisauan dalam tenang ini. Karena niatan hati teryakinkan telah pada posisi yang benar.

Pada riak-riak takdir yang menyentil spirit jiwa. Menggejolaklah asa dalam lingkaran hati. Sebuah keinginan terazamkan, tuk tetap mejadi semakin baik dari hari ke hari, tuk tetap ceria dalam tiap laku, tuk tetap kibarkan senyum sapa di setiap lahan hati yang terjambangi. Agar kiranya menjadi pribadi yang menentramkan, pribadi yang memagnet rasa dalam kebersamaan tanpa mengenal segala bentuk keadaan. Karena sungguh, ingin sekali terkatakan, bahwa engkau nyaman dan aman bersamaku, mari torehkan keceriaan pada setiap takdir yang menggurat.

Tersenyumlah.... hidup ini tak layak ditangisi. Tahukah kenapa? Karena ada cinta taat yang merengkuh cinta nikmat dan cinta manfaat, bukan cinta laknat. Karena engkau dan aku adalah sebaik-baik penciptaan. Karena kita saling menopang dalam kesejatian ukhuwah. Terlebih... karena kita saling mencintai karenaNya.

Aku yang masih menanti

"Bimz, mengapa semua ini terjadi padamu?"

"Dan mengapa takdir memilih kamu?"

Kadang begitu banyak pertanyaan sulit yang tak mampu aku jawab. Kadang hidup kembali menyisakan derai pilu yang harus ku jalani. Walau pahit, namun harus dihadapi. Coz Life Goes On. Like it or Not.

"Mengapa kau masih berdiri disana, Ded? Apa yang kau cari dan kau tunggu"
Suara hatiku bening membuyarkan lamunanku.

"Apa yang aku cari tunggu..?" Pertanyaan itu kembali menggantung di sudut hatiku.

Suatu sebutan sesosok nama, secarik title harapan yang tengah ku tunggu. Ku masih mengharap sosok nya. Sekian purnama terlewati. Dan ku tak berhenti melambungkan nama nya ke atap langit. Berharap yang Maha Penyayang mengabulkan do'a do'aku. Walau aku tahu, dengan lumuran noda di pakaian jelataku, masih kah aku berharap TUHAN mendengar pintaku?

Tuhanku, untuk d.o.a ku yang ini. Ku mohon palingkan wajahMu pada si kerdil ini. Ku mohon kemurahanMu sekedar menorehkan garisMu dalam lembaran takdirku.

Apa lagi yang kuharap kini? 

Sebuah mimpi akan sebuah harapan.

Dan tangan RahmaanNya, senantiasa membelai mesra hamba hambaNya yang meminta. Aku tahu DIA tak kan pernah mengecewakan hambaNya yang berdo'a dengan penuh kesungguhan.

Aku hanya mampu mengeja harapan itu, harapan demi harapan. Sedang diriku teramat letih menunggu Sungguh berat arti sebuah penantian.
Ah ya, tentu saja, ku tak kan pernah mengerti. Bahkan mereka pun tak mau mencoba mengerti arti menanti.

Rintik hujan dan rinai Pelangi. Bulan senja dan Matahari Pagi. Semua seakan sama bagi ku. Hitungan bulan dan bintang menjadi pengantar keadaanku.


dimana harus kutemukan?
Bahkan aku kini bingung mencari mu (kembali).


mereka hanya memberiku waktu satu Purnama untk sebuah jawaban.
Dan aku disini,
masih mencoba mencari bayang mu.

Kami serahkan segala nya pada Engkau Rabb.

Tiada Kesulitan melainkan Engkau janjikan bersama nya ada Kemudahan.

Tiada beban melainkan engkau ciptakan pundak disana untuk memikulnya.

Hidup amat sangat Adil. Dan keadilanNya akan berlaku untk hamba hambaNya.

I still believe

Hingga saatnya tiba, aku percaya Allah selalu bersamaku. Hingga waktunya menjemput, aku yakin Allah melindungiku. Aku tak perlu bersedih dan menyiksa diriku dengan pesimisme suatu peristiwa. Keyakinan akan cobaan yang diberikan adalah suatu rahmat tersendiri yang harus disyukuri. Hakekat hidup memang seperti roda yang berputar. Tak selamanya ada di jalan yang mulus. Suatu waktu pasti melewati jalan yang penuh liku. 

Anggaplah itu tantangan dan sebuah pengalaman yang berharga. Yakinlah firman Allah bahwa Dia tidak akan membebani suatu kaum melainkan sesuai dengan kemampuan kaum tersebut. Memang pahit apabila kita mengurai suatu kenangan yang memang kadang tak bisa kita terima. Bahkan mungkin begitu sulit kita hadapi. Tapi yakinlah bahwa dengan kepahitan itu kita akan semakin tegar, semakin kuat, semakin mantap melangkah ke arah yang lebih baik. 

Hidup ini memang penuh cobaan, tapi makna dan hikmah dibalik cobaan itu adalah bahwa Allah sedang menguji keimanan kita. Seberapa kuatkah? Makanya, janganlah pesimis, jangan putus asa. Optimis dalam hidup sangat penting. Lagipula Allah sangat tidak suka dengan makhluknya yang suka berputus asa. Putus asa itu dosa. Menganggap diri sendiri rendah hanya akan semakin membawa kita ke dalam keterpurukan. Semua itu tidak akan menyelesaikan suatu masalah. AA Gym pernah berkata dalam salah satu ceramahnya, bahwa apabila kita ditimpa suatu cobaan atau ujian, kita tidak perlu mempermasalahkan apa cobaan dan ujian itu. Tapi kita harus mencari bagaimana solusi untuk memecahkannya. 

Percayalah bahwa orang yang bijak dalam menghadapi masalah, maka dialah yang akan selalu berhasil menyelesaikannya. Orang yang menjadikan masalah itu adalah tolak ukur kemampuannya, maka kemampuannya pun akan semakin meningkat. Hidup ini indah dan tak ada yang boleh disesali dari kehidupan. Seorang sahabat pernah berkata kepadaku “pandanglah dunia”. Dunia ini begitu luas diciptakan untuk manusia. Betapa Allah menyayangi kita. Karena itu bersyukurlah dengan apapun keadaanmu. Jangan sedih karena kondisimu. Barangkali kita miskin tapi di sekitar kita ada yang lebih miskin. Yang penting kita tidak miskin iman. Barangkali kita mengidap suatu penyakit tapi masih ada yang lebih parah dari kita. Yang penting kita tidak mengidap penyakit hati.

Allah menyukai kalau hambaNya kuat!

Sebuah cerita mengawali putihnya hari, dalam rekah merah jingga di ufuk langit timur. Sepasang mata sayu yang kini mulai lembab. Tes... butiran bening itu jatuh juga dari sudut mata. Sementara dari balik rasa haru, mata jiwaku iba menatap, seolah diri ini berkata:

"Biarkan ku menangis. Mengalirkan air mata yang telah lama membendung. Biarkan semuanya tahu, kalau memang aku hanya seseorang yang cengeng! Tak bisa lagi ku hidup dalam kamuflase, dan memang ku tak bisa lagi. Maka jangan memaksaku lagi menjadi kuat, jangan memaksaku lagi menjadi tegar, jangan memaksaku lagi bertahan dan menahan. Aku ingin berhenti. Tak mengapa jika harus kalah, karena memang aku menyerah dan pasrah. Tak mengapa jika segalanya berakhir sampai disini" sampai kapan aku bertopang pada kata ikhlas dan sabar ?

Jiwaku pun terpaku, ada rasa ngeri membayangkan bagaimana keadaan diriku kini. Begitu hebatkah derita yang menimpaku hingga aku tak hanya tergoncang, namun juga limbung dan jatuh bergulingan dari pucuk-pucuk ikhtiar?

Bukankah aku tahu tentang kebaikan-kebaikkan setiap takdirNya? Bukankah dalam setiap tahapan yang pernah aku tapaki adalah semakin menguatnya keyakinanMu akan setiap jaminanNya? Kenapa musti khawatir, padahal pernah menguntai dari bibirku sebaris kata bahwa "syetan selalu menghembuskan was-was di setiap hati". Dalam kesadaran, bertawakallah. aku hanya perlu bangkit dan tapaki lagi jalan itu.

Bahwa pada hakikatnya, tak perlu ada yang dikhawatirkan dalam hidup ini. Jalani... hadapi dan nikmati pergiliran takdirNya dengan keimanan penuh. Tentang sebuah janji pasti, bahwa dengan ketakwaan ini, Allah SWT akan menolong dari arah yang tak pernah terlintas dalam benak.

ayolah bangkit. Allah menyukai kalau hambaNya kuat!

Selalu ada harapan

Harapan itu seperti cahaya di kegelapan,

memberikan arah untuk melangkah agar tak salah,

dengan harapan kita tak lagi jadi daun rapuh yang jatuh ke tanah dan linglung mencari rumah.

Mungkin sebab itulah yang menjadikan ku lelaki dengan penuh impian,

impian akan hari esok yang jauh lebih baik dari sekarang, dan hari sekarang yang jauh lebih baik dari kemarin.

Dengan impian-impian itulah diriku terbentuk, tanpa harus menjadikan impian itu hanya jadi khayalan.

Maka dimulailah dengan melakukan pertanyaan kecil di kepala, membiarkan pertanyaan itu menari

Pertanyaan semisal, bagaimana menggapainya? langkah pertama apa yang mesti dilakukan untuk mencapainya?.

Lalu menyusun rencana-rencana di sepetak kertas, menggoreskan segala macam cara untuk menghadapi setiap kemungkinan – baik atau buruk, disinilah aku mulai bermain dengan pertimbangan pertimbangan pada segala keuntungan dan segala kerugian, pada keberhasilan dan kegagalan, aku tak mau impian tentang keberhasilan membutakan, dan kegagalan menjadikan ku manusia pesimis.

Setelah itu mulailah raga bergerak, siap dengan jari yang mengepal, meninju karang dengan garang, tak takut lelah dan tak mau menyerah.Jika, memang ternyata kejatuhan ada di depan, itu tak menjadikan ku manusia kalah karena yang jadi masalah adalah bagaimana kita berdiri lagi, bermimpi lagi dan bergerak lagi.

Bagi ku jika kita berusaha maka akan selalu ada hasilnya, besar atau kecil itu tergantung dari bagaimana kita me-manage-nya, dan seberapa keras kita berusaha untuk mencapainya

.Satu hal yang mesti diingat jika jatuh merengkuh “Jangan pernah salahkan siapapun akan kegagalan kita”.

Menyalahkan tak akan memberikan jawaban, itu hanya akan membuat kita terjebak pada polemik salah dan benar, polemik berkepanjangan dan akan semakin menenggelamkan kita pada kegagalan (itulah yang menjadikan kita kalah), kita harus mengerti bahwa di setiap kegagalan di situ ada pembelajaran yang dapat menjadikan kita orang yang lebih baik dari kemarin.

Mulailah mencari jawaban dari pertanyaan “bagaimana kita berdiri lagi? bergerak lagi?melaju lagi”, karena waktu terus berjalan maju, ia tak pernah mau menunggu.

Hidup ini memang penuh dengan liku

Hidup ini memang penuh dengan liku tanpa kita tahu apa yang ada di balik likuan itu. Barangkali yang ada dibaliknya adalah setumpuk emas yang berkilauan dan membuat kita menelan ludah karena melihatnya, atau mungkin juga yang ada di baliknya adalah setumpuk kotoran kuda yang akan membuat kita menutup hidung ketika kita melihatnya dan mencium baunya. Entah kita akan lari atau jalan terus dengan pura – pura tidak tahu apa yang kita alami. Memang benar hidup di dunia hanyalah sementara, kenapa kita perlu lari ? pengen nggak punya masalah? Mati saja. Toh matipun kita masih berpikir ribuan kali. Sudah cukupkah bekal yang kita siapkan?

Kata – kata ini tak akan cukup menggambarkan tekstur hidup yang kadang licin, kadang kasar, kadang juga lembut. Perih, sakit, menderita, mungkin adalah sebagian kata – kata kesengsaraan yang membuat kita tertunduk memohon untuk jangan ditimpakan kepada kita. Senyum, tawa, harta, tahta, adalah segenap rasa dan fakta yang barangkali kita harapkan. Tapi bukan itu masalahnya. Bukan keengsaraan atau kebahagian, tapi cara menyikapinya. Cara bijak menghadapi realita hidup baik yang menyayat perih ataupun menyelipkan tawa adalah ikhtiar, percaya kekuatan doa dan tentu saja tawakal atau kepasrahan diri kita kepada Allah swt penggenggam semesta, pemilik dan pengatur dunia.

Meski rasa itu, mungkin tak lagi teraba.

Meski sungguh kuakui bahwa hati ini merasa berat dengan sebuah realita yang terjadi, namun tak pernah kusesali karena itu adalah yang terbaik. Ada sebuah corak dalam hati ini yang tak bisa kuhapus, corak yang terlalu indah untuk dimaknai. Bahkan aku telah mengatakannya bahwa kulukis corak itu pada gelapnya langit malam supaya terlihat seperti bintang. ketika itu aku masih hidup dalam mimpiku bukan hidup dengan mimpi yang harus diperjuangkan. lalu aku tersadar akan sebuah kenyataan yang sebenarnya. Ak
u tersadar kala beberapa kata keluar dari suara hatiku....

"Dalam kondisi seperti apapun aku harus mampu berdiri sendiri" .

Air mataku telah mengembang tinggal menunggu pecahnya saja saat itu. Tak kuasa kudengar suara yang selama ini membuatku terus terpacu untuk tak diam menghadapi masalah. suara yang selama ini memberikan asaku terkembang. Jujur, aku tergagap mendengar kata-kata yang terakhir itu. Apakah batas dari kesiapan hati telah tiba pada pintu gerbang yang sebenarnya?
Aku tak mengerti seperti apa perasaanku, yang pasti ada satu perasaan halus yang menyulut di dasar hati ini. Perasaan yang begitu lembut, terasa... meski rasa itu, mungkin tak lagi teraba.

Menanti hari esok

Bila esok tiba… ku ingin melihat wajah cerah ceria itu lagi. Menyodorkan sesungging senyum dan berkata ; “Aku bahagia!”

Bila esok tiba… ku ingin melihat tubuh tegap itu lagi, busungkan dada dan berkata : “Aku siap hadapi hari!”

Bila esok tiba… ku ingin melihat mata itu lagi, penuh binar asa dan optimis, kemudian berkata ; “Aku ingin melesat mendahului bilangan waktu!”

Bila esok tiba…. ku ingin melihat jiwa tegar itu lagi, di hiruk pikuk gemuruh luka dan lara, kemudian berkata ; “Aku bersyukur di tiap keadaan!”

Bila esok tiba… semoga selalu ada keberkahan dan ridhoNya di tiap detiknya, hingga lebih baik dari hari ini.

Allahu Rabbi… betapa ada rasa yang mengangkasa dalam kepak asa pada setiap esok yang Engkau hadirkan. Di haribaanMu ku dekap erat jiwa ini. Menyenandungkan irama penghambaan dalam nada – nada dzikir mengalun merdu. Memagut mesra pesona cahayaMu seiring menjingganya langit timur dalam rekah fajar.

Menyapa bening embun, menyambut kicau burung, melihat terang keindahan semesta alam. Dan memulai segalanya dengan menyebut asmaMu yang maha pengasih lagi maha penyayang …

Sepenggal episode kehidupan.

"Lalu, inikah yang dinamakan takdir, jika segala daya telah kulakukan tuk ke luar dari kubangan masalah ini?" hatiku berbisik berat melempar tanya tak berkesudahan.

"Inikah titik henti di mana aku harus menyandarkan segala kepasrahan? Diam tak bergerak menunggu waktu mengejakan ketentuan yang harus dijalani."

Hening... Tak ada jawaban dari sudut mana pun di ruang jiwa, atau samar gema yang kuharap menyudahi tanya di pendaman rasa.

"Rabb...," tanpa kusadari, bibirku menyebut pilu asmaNya. "Salahkah aku jika meminta penjelasan terhadap apa yang kini sedang terjadi dalam hidupku, sebagai manusia biasa tanpa daya di balik upaya yang telah terjalani?"

Segumpal sesak menjalar sepenuh ruang dada. Menghimpitku pada sebuah keputusasaan yang terbayang di pelupuk mata. Terbingkai selembar masalah berlukis kisah tentang beban berat kehidupan seorang anak manusia yang menginjak dewasa.

"Rabb, jangan Engkau beri kami beban yang tak sanggup kami pikul," desahku pilu diringi butiran bening yang jatuh dari sudut mata.

Kembali aku larut dalam pengaduan kepadaNya. Berharap segumpal sesak kan terbuang di linangan air mata.

"Jauh di dasar hatiku, ya Rabb, ada asa yang masih menghujam kuat. Dan asa itu hanya aku sandarkan padaMu, wahai Pemilik Alam Raya, wahai Pemilik Kekuasan Tertiggi, wahai yang Mahabijkasana, wahai yang Maha Berkehendak."

"Mahasuci Engkau dari kesalahan. Kuatkan pijakan kaki ini, ya Rabb, dalam menjalani segala ketentuanMu. Jika dengan takdir ini, sejatinya Engkau sedang menempa jiwa kami agar kuat. Sungguh, ya Rabb, jangan jadikan ini beban berat yang mengikis Husnudzan-nya hati yang terluka."

"Rabb... KepadaMu kami menyembah dan kepadaMu kami mohon pertolongan. KepadaMu kami berlindung dari lemahnya iman dan buaian dunia yang melenakan."

"Rabb... Berkahi hidup kami. Aamiin."

Hadirnya sebuah kesadaran

Merunut jatah usia ini dalam bilangan waktu. Sebuah kesadaran hadir bahwa ada masa dimana saatnya harus menjadi sosok diri ideal. Dewasa dan bijak dalam perpaduan kemusliman yang mengakar ke lahan sanubari, dalam capaian stabilitas mental dan pikiran. 

Merenungi perjalanan hati ini, ada kalanya di penuhi gelora rasa cinta, haru dan indah. Namun tak jarang menggelora rasa hampa, pilu dan sakit. Kala melebur dalam keimanan yang mewujud, maka sungguh sangat luar biasa refleksi ketakwaan itu. Menciptakan kuncup – kuncup syukur dan sabar. Dan mekarlah kini pada kelopak waktu bertangkai kepasrahan. 

Keyakinan ini, keimanan ini, kesyukuran ini…. berproses dalam episode yang menggilir semangat dan future, harap dan kecewa, tawa dan air mata. Kini, membingkai indah sketsa jiwa dalam perpaduan warna – warni garis keidupan. 

Di relung hati ini, ada cahaya Ilahiyyah. Memancar sempurna dalam gelap nafsu yang coba menjerumuskan. Ada kesungguhan tekad, untuk tidak hanya sekedar menapak pada jalan yang lurus, tapi juga berjalan sebaik mungkin. Ada kecintaan untukNya dan karenaNya. Ada kepasrahan yang menyembul dari pucuk – pucuk ikhtiar. Ada dzikir dan istighfar mengiring husnudzon. Ada penghambaan sepenuh ketulusan di jiwa. 

Wahai pemilik jiwa dan raga ini,
wahai pemilik alam raya,
wahai yang maha pengatur dan berkehendak.
Sesungguhnya RahmatMu meliputi segala
Paripurnakan hidup ini dalam khusnul khatimah.
Amiin.

Ridho atas segala ketentuan-Nya.

Teramat sangat berbeda rasa itu, teramat sangat berbeda masa itu, teramat sangat berbeda apa yang pernah ada dalam benak. Ketika semuanya telah berjalan sesuai dengan kehendakNya, ada cita rasa yang berubah dari selera jiwa, terasa sekali perubahan itu, dan tak pernah ada yang dapat membendungnya. 

Ada yang bergeser cukup jauh, dari tempat mula berawal. Mencipta satu titik yang kemudian menjadi penyusun garis panjang perjalanan jiwa. 

Sudah lama rasanya ingin berhenti melaju, namun waktu terus memacu, meski dalam tapak-tapak yang tertatih. Karena tak ada pilihan lain yang dapat diambil, dan aku tetap bersedia menjejak dalam sengal dari perlombaan hembusan nafas panjang pendek Sudah lama rasanya ingin meluruhkan ego diri, namun tak pernah ku mampu, karena kehidupan tlah mengajariku bertahan dalam rapuh, meski dalam hakikatnya hanya kamuflase ketegaran yang tercipta. Dan ternyata tak ada yang benar – benar tulus mendekat kecuali hanya sedikit dari yang ada. 

KehendakNya. Lagi-lagi ku harus tunduk pada titah itu, bahwa takdir tak kan pernah salah menggariskan. Dan sepenuh rasa di ruang jiwa, dalam kesadaran sebagai hamba yang mendamba, ku bangun istana ikhlas di hati kecil, bertahtakan husnudzan, bermahkotakan raja' (harap), dan beralaskan khauf (takut). Karena itulah pada kenyataannya penopang mahabbah hakiki. 

Sering ku lalai, bahwa DIA maha pencumburu, hingga tak selayaknya ku tempatkan siapapun dan apapun di hati melebihiNya. Bukankah dalam ikrar syahadat telah disepakati, bahwa semuanya adalah milikNya, bermula dariNya dan akan kembali padaNya? Lalu, apa masalahnya jika ternyata dia yang maha bijaksana berkehendak lain terhadap diri ini? 

Jiwa ini, yang sepenuhnya juga milikNya, yang kini berusaha menunduk lagi, dari rangkaian episode hidup yang tlah menggubah wujudnya. Menepikan keinginan – keinginan diri yang tercipta dari selera pribadi. Kembali menyalami makna tentang sebuah kalimat yang sering terucap dalam ikrar penghambaan : sesungguhnya hidupku, matiku, ibadahku hanyalah untukMu. 

Allahu Rabbi, berilah aku kemampuan untuk ridho terhadap segala yang telah dan akan Engkau tetapkan. Amin.

Menyentuh kembali rasa optimis

Masih menikmati aroma tanah yang diterpa hujan hari ini. Secangkir capuccino terasa begitu luar biasa dalam perpaduan hawa dingin dan semilir angin malam yang menyeka lara jiwa. Lengkaplah suasana dengan bulatan indah bersinar redup di birunya langit yang kini sempurna purnama. Dan ternyata akupun bahagia ^_^ 

Melupakan hatiku yang kemarin terseok sembilu diantara kamuflase ketegaran. Meleburkan asaku pada rasa tawakal yang kini mulai menyelusup ke seluruh ruang sanubari. Menanti hujan kembali datang membawa takdir lain yang kan ku sambut dengan ceria dan sepenuh keyakinan di jiwa. 

Dalam kepasrahan yang kini mulai terebahkan, ku ingin menikmati bahagia yang ternyata cukup lama terlupakan. Menyentuh kembali rasa optimis yang selama ini ku kira tak lebih dari sebuah pembodohan kenyataan hari esok. Mengusir penat ku dan menghadirkan kembali hal – hal menyenangkan meski aku belum tahu dalam wujud apa nantinya. 

Aku pun kini bahagia, ingin tetap bahagia dan tak kan ku biarkan lagi ia pergi terlupakan, seperti yang telah lalu. Karena menyadari rasa bahagia itu ternyata sungguh menyenangkan jiwa, menghadirkan simpul – simpul senyum, memudarkan berjuta rajutan kekhawatiran yang selalu dan terus menyelimuti diri. 

Rasa itu sangat nyata, begitu menyentuh penuh seluruh sisi hati, mengukir asa baru yang entah mengapa lebih dari sekedar asa, sebuah mimpi akan kebaikkan hari esok dalam takdirNya. Dan berjuta bintang pun menjadi saksi bahwa aku kini bahagia, dalam taubat dan syukur, dalam cinta dan harap, dalam kerinduan yang sungguh tak dapat ku ukur sedalam apakah kini. 

Namun... tunggu! Rasa apakah itu gerangan?, kenapa ada yang bersorak disisi yang lain?, turut serta bahagia karena rasa bahagia yang kini mampu ku rasakan. Aha… sebuah kenyataan tentang bahagiaku karena bisa merasa bahagia. Subahannallah… indahnya rasa – rasa bahagia ini menempati setiap jengkal waktuku kini dan esok, insyaAllah….

Saatnya melepas lelah dan beban jiwa.

Mengistirahatkan jiwa ini, tuk laju lagi melesat. Segarkan naluri dan nurani. Dalam hening biarlah dzikir membisik. Tundukkan kepongahan diri, pada gurat – gurat laku yang pernah tercipta. Menata ulang setiap letak niatan hati, menempatkannya pada sekeping kayakinan tentang muara ridho dan pertolonganNya. 

Ada yang ingin sejenak bersandar, merebahkan kepasrahan lewat pucuk – pucuk ikhtiar. Agar tak ada lagi rasa takut melangkah, merunut takdir yang tak jarang meletupkan emosi hati. Kala kesadaran menghepas keraguan yang bebas menelusup dalam jiwa, dan seulas senyum pun merekah bahagia, hadirkan keyakinan akan jaminan serta janjiNya. 

Masih dalam hening, ketika lirih nurani menggetarkan irama dari bagian rasa yang melembutkan kalbu. Merukukkan ego ini, menyujudkan nafsu ini. Lunglai bersimpuh melepas lelah dan beban jiwa. Bebaskan segala spekulasi hari esok dalam hitung – hitungan logika akal. 

Tentang jiwa ini, yang sering menggejolak tanpa tahu nadanya. Sementara tiap bulir mahabbah lahir dari irama jiwa yang seharusnya mengalunkan simfoni indah nan lembut dalam ketenangan dan keteraturan gerak. Agar mahabbah itu mampu menghidupkan, menuluskan, mempercayakan, memasrahkan, dan akhirnya membagiakan dalam raut keceriaan. 

Mengistirahatkan jiwa ini, dalam muhasabbah biarlah semuanya bermula disini kembali. Di niatan yang mentawadhu’kan laku, di kepasrahan yang percaya kebaikkan setiap takdirNya, di bagian rasa yang melembutkan kalbu.

Ada saatnya keyakinan itu diuji

Bukan retorika, karena ada saatnya keyakinan itu teruji. Allah swt selalu mempunyai caranya sendiri, mencipta skanario yang tak begitu saja mudah dipahami. Dan benar adanya, betapa tak mudah ternyata menerima firmanNYa " Boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu tak baik bagimu" meski telah dipadupadankan dengan "Allah tahu kebutuhan kita, bukan sekedar keinginan kita" ketika terbentur dengan segala urusan yang justru terasa sesak menyulitkan.

Hidup adalah berbilah pilihan. Barangkali setiap kita pernah memilih hal yang kurang begitu tepat, atau pilihan tepat tapi ternyata bukan pada saat yang tepat. Atau keadaan yang justru membuat kita memilih. Ya, karena ada kalanya keadaan mengkarbit kita untuk lebih cepat bergerak, cepat memilih dari jatah waktu yang seharusnya masih bisa kita ulur.

Ah... apapun toh itu alasan memilih. Pilihan telah di tetapkan, suka atau tidak suka. Lalu, konsentrasilah sekarang pada apa yang telah kita pilih. Pun jika ingin menengok kebelakang, lakukanlah untuk membuat beberapa catatan sebagai bahan evaluasi, bukan melirik pada pilihan lain dan menyesali apa yang telah menjadi pilihan hari ini.

Dan, hadapi kenyataan dari hasil pilihan itu, meski harus berdarah-darah sekalipun. karena lari dari kenyataan bukan saja cerminan jiwa pecundang, tapi juga pengecut memalukan yang masih bernama manusia.

Ya, hadapi kanyataan yang ada, pada bumi tempat kita berpijak kini. Dengan ketaqwaan ini, dengan rasa baik ini, dengan keyakinan tentang sebuah janji pasti, "Kuntum khairu ummah". Sepenuh kesadaran dalam rukuk dan sujud di atas jiwa hebat yang telah Allah ciptakan dari barisan kokohnya keimanan.

Membagi resah

Ada resah yang ingin ku bagi, namun tak ku temukan ruang kosong pada setiap hati yang ku temui. Sementara bebaris kata mengurai menjadi kalimat dalam buncahan rasa tanpa keteraturan gerak. Dan masih disini sendiri mencari tempat sandaran untuk jiwa yang limbung. 

Ada fragmen yang menunjukkan sisi lain tentang kemanusiaan. Ya, sisi manusia biasa yang tetap sedih meski dalam kamuflase senyum merekah. Tak bisa di bohongi, tak bisa di manipulasi, dan tak bisa di biarkan. Kini… rasa yang sering terabaikan itu menuntut perhatian dari sang pemilik hati, yang telah meletakkakannya dalam sangkar penghibur diri, dan mengatakan dengan enteng ; semua akan baik – baik saja, tetap tersenyumlah dan nikmati harimu. 

Namun sekali – kali tidak! Untuk saat ini. Karena kini aku harus berpacu dengan waktu. Diiringi resah yang mulai mencapai klimaksnya. Meski masih terpatri dalam keyakinan itu, bahwa Allah yang maha penyayang tak kan pernah membuat hambanya mengurusi urusannya sendiri. Dan pertanyaanpun menggurat di rendah dasar hati ; Allahu Rabbi, apa yang sedang Engkau rencanakan untukku dengan urusan ini? 

*** 

//rf
"Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat". (Thaha: 46)

my videos

part 2